
logastellus
Library of my works.
Mengapa Saya Memilih SMA Negeri 68

SMA Negeri 68 merupakan sekolah negeri yang dikenal karena kualitas dan prestasinya yang tidak bisa diragukan lagi. Sebelum itu, SMA Negeri 68 pun dikenal sebagai salah satu sekolah RSBI, yaitu Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional. Sehingga, tentu saja, tidak diragukan lagi kepopulerannya. Banyak pula lulusan dari SMA Negeri 68 yang masuk ke PTN ternama dan menjadi bagian dari orang-orang sukses.
Alasan mengapa saya memilih SMA Negeri 68 sebagai sekolah pilihan saya karena SMA Negeri 68 merupakan salah satu SMA favorit di Jakarta, terutama Jakarta Pusat. Selain itu saya juga mengejar kuota masuk ke PTN melalui jalur undangan. SMA Negeri 68 juga lumayan dekat dengan rumah saya, sehingga memudahkan transportasi. Saya berharap dapat meneruskan jejak para senior saya agar bisa berprestasi bagi nusa dan bangsa.
Biografi Dewi Sartika

Dewi Sartika lahir dari keluarga Sunda yang ternama, yaitu R. Rangga Somanegara dan R. A. Rajapermas di Cicalengka pada 4 Desember 1884. Ketika masih kanak-kanak, ia selalu bermain peran menjadi seorang guru ketika seusai sekolah bersama teman-temannya. Setelah ayahnya meninggal, ia tinggal bersama dengan pamannya. Ia menerima pendidikan yang sesuai dengan budaya Sunda oleh pamannya, meskipun sebelumnya ia sudah menerima pengetahuan mengenai budaya barat. Pada tahun 1899, ia pindah ke Bandung.
Pada 16 Januari 1904, ia membuat sekolah yang bernama Sekolah Isteri di Pendopo Kabupaten Bandung. Sekolah tersebut kemudian direlokasi ke Jalan Ciguriang dan berubah nama menjadi Sekolah Kaoetamaan Isteri pada tahun 1910. Pada tahun 1912, sudah ada sembilan sekolah yang tersebar di seluruh Jawa Barat, lalu kemudian berkembang menjadi satu sekolah tiap kota maupun kabupaten pada tahun 1920. Pada September 1929, sekolah tersebut berganti nama menjadi Sekolah Raden Dewi.
Ia meninggal pada 11 September 1947 di Cineam ketika dalam masa perang kemerdekaan. Ia dianugerahi gelar Orde van Oranje-Nassau pada ulang tahun ke-35 Sekolah Kaoetamaan Isteri sebagai penghargaan atas jasanya dalam memperjuangkan pendidikan. Pada 1 Desember 1966, ia diakui sebagai Pahlawan Nasional.
[Dicatut dari laman wikipedia]
Api Semangat Keabadian

Ayana menarik napas panjang. Dikeluarkannya perlahan selagi mengikat tali sepatunya yang masih longgar. Tarikan napasnya berepetisi sampai sekian kali. Jantungnya berdegup kencang. Namun, matanya tetap fokus. Wajahnya masih tertempel senyum manis.
Sekarang tahun 2045, tahun emas bangsa Indonesia. Ulang tahun ke 100 Indonesia dihadiahi kejutan berupa menjadi tuan rumah pesta olahraga terbesar se-Asia. Dan Ayana, mendapatkan kejutan yang tak kalah membanggakan untuk dirinya di usia ke 24.
Ialah sang pembawa obor api menuju takhtanya di tengah stadiun. Namanya memang sudah tidak asing lagi. Peraih medali emas cabang lari 400 meter di Olimpiade, itulah gelar yang dibanggakannya. Atlet yang menjadi kebanggaan rakyat Indonesia, dialah orangnya.
Namun, perjalanan Ayana menuju posisinya sekarang bukan tanpa pengorbanan. Ia telah ditinggalkan kedua orangtuanya sejak umur 10 untuk mengabdi kepada negara, lalu pada akhirnya dirawat di panti asuhan sampai bakatnya dilirik oleh pemerintah setempat.
Bukan tanpa alasan, Ayana berlari sekencang angin. Mendiang ayahnya berpesan agar semangat dirinya terus menyala di hati Ayana. Meneruskan semangat juang untuk mengabdi kepada negara. Ayana tak main-main.
Dan sekarang, di sinilah ia, memegang erat sang obor api lambang semangat, persahabatan, dan persatuan abadi. Di tengah lautan masa yang menggema, di bawah sorotan lampu seterang bintang, disaksikan ribuan pasang mata penuh nyala.
“Aku siap.” Ayana menganggukkan kepala mantap.
Tangannya meraih tongkat obor keemasan. Nyala api di atasnya tak pernah redup, membakar api jiwa perjuangan di dalam tubuh Ayana.
Dan ia pun berlari. Membawa api semangat keabadian di tangan, menuju takhta di bawah gema seruan.
KONSTELASI

Atensinya masih terpaut pada hamparan kosmik di atas saat seseorang duduk di sebelahnya. Ia tak peduli dan tak mau peduli. Toh, hubungan di antara mereka memang begitu. Mereka sudah terlanjur paham.
"Aku benci Zeus," celetuknya, mendistorsi stagnasi yang sedari tadi ia bangun.
"Kukira kau suka pria macho serba sempurna?" Pria itu mengangkat sebelah alisnya.
"Kau menyindirku, Kak?" Ia sedang malas mengeluarkan jurus sarkasme, "Tapi yah, dia, 'kan, senang berselingkuh dengan wanita mortal, lalu mendampratnya begitu saja. Cih, bajingan. Kuharap dia tidak pernah ada dalam sejarah mana pun."
Laki-laki di sebelahnya tertawa kecil, "Kalau Zeus tidak ada, maka Perseus favoritmu juga tidak akan ada, Idiot."
"Hmm, kadang-kadang semesta memang kelewat adil."
Kalau yang itu, mereka berdua memang setuju.
Langitnya gelap, tapi masih terlihat beberapa gugus bintang di sepenjurunya. Ia tak tahu nama-nama mereka, tapi jelas laki-laki di sebelahnya hafal betul dengan nama-nama itu. Yang dia tahu paling hanya Orion si kalajengking, atau Beruang Besar alias Callisto si malang. Tidak, ia tak mau bernasib sama seperti Callisto. Kenangan mati yang hanya berkelap-kelip di malam hari.
Ia tak tahu apa yang mendorongnya susah payah memanjat rumah sampai ke atap. Demi mengamati bintik-bintik kecil berkilau dari atap rumahnya. Hanya saja, di atas sini, ia bisa mengatensi sejauh infiniti. Sebab langit tak terbatas. Sebab nun jauh di sana, ada bintang yang sangat dia benci. Sebab nun jauh di sana, ada bintang yang sama, yang sangat ia ingin lihat.
Sayangnya, netranya hanya mencapai horizon.
"Aku tak tahu, rasanya berat sekali, Kak." netranya mengawang jauh, jauh sekali.
"Tak apa, kau sudah pulang. Tak apa." Laki-laki itu merangkulnya erat. Seakan tahu gadis di sebelahnya akan jatuh, dan dia memang tahu.
"Aku ...." kalimatnya terlanjur lesap di ujung bibir.
Netranya sebening kaca sekarang. Tidak, ia tak mau jatuh sekarang. Tapi, tangannya terlanjur bergetar. Tenggorokannya terlanjur kering. Napasnya terlanjur sulit.
Sebab air matanya, terlanjur turun.
BATIK
Batik is a technique of wax-resist dyeing applied to whole cloth, or cloth made using this technique originated from Indonesia. Batik is made either by drawing dots and lines of the resist with a spouted tool called a canting, or by printing the resist with a copper stamp called a cap. The applied wax resists dyes and therefore allows the artisan to colour selectively by soaking the cloth in one colour, removing the wax with boiling water, and repeating if multiple colours are desired.
A tradition of making batik is found in various countries; the batik of Indonesia, however, may be the best-known. Indonesian batik made in the island of Java has a long history of acculturation, with diverse patterns influenced by a variety of cultures, and is the most developed in terms of pattern, technique, and the quality of workmanship. In October 2009, UNESCO designated Indonesian batik as a Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity.
The word batik is Javanese in origin. It may either come from the Javanese word amba ('to write') and titik ('dot'), or may derive from a hypothetical Proto-Austronesian root *beCík ('to tattoo'). The word is first recorded in English in the Encyclopedia Britannica of 1880, in which it is spelled battik. It is attested in the Indonesian Archipelago during the Dutch colonial period in various forms: mbatek, mbatik, batek and batik.
WAS
For us was
A tingling of joy
Of sorrow
Of despair
Of happiness
We were once
Laughed together
Smiled together
Hurted
And for us now
And this distance
For I pray
For your happiness
For us because
I was never yours
And you were
Never mine
Generasi Z Bersumpah Pemuda
"Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
"Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
"Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia."
Ayana melantangkan bait sumpah pemuda ditengah stadiun Gelora Bung Karno. Kebanggaan negeri ini.